PEMBUBARAN ORMAS BERBADAN HUKUM TAK SEMUDAH SULAP PAK TARNO
Baru baru ini khalayak
dihebohkan dengan pemberitaan pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Media
terkesan berlebihan dalam memunculkan berita ke permukaan. Padahal itu baru
rencana pemerintah yang diwakilkan Pak Wir dalam menyampaikannya melalui
konferesnsi pers beberapa waktu yang lalu. Adalah gaya pemasarannya media dalam
memunculkan judul berita harus kontrofersial! Akhirnya tersebarlah judul berita,
“Resmi! HTI Dibubarkan Pemerintah.” Penulis
yakin awak media bukan orang sembarangan yang tidak paham prosedur pembubaran
suatu organisasi berbadan hukum. Pembubaran itu tidaklah semudah Pak Tarno yang
hanya menyampaikan pada hadirin, “yuk yuk
dibantu yaak! bimsalabim jadi apa, prok prok prok,” tadaaa, kertas origami kini
menjadi merpati. Percayalah, judul itu
hanya strategi pasar media dalam membumikan beritanya. HTI belum resmi
dibubarkan. Awak media adalah pribadi-pribadi yang peka pada apa yang diminati
publik, berwawasan luas, aktif membaca dan berdiskusi. Ya, setidaknya penulis
juga pernah menjadi bagian dari mereka.
Dilansir dari
Republika.co.id (18/5/2017), K.H. Muhyiddin, Ketua MUI (Majelis Ulama
Indonesia) bidang Hubungan Luar Negeri menyampaikan bahwa, HTI adalah
organisasi berbadan hukum yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM.
Membubarkan HTI tidaklah semudah membalikkan telapak tangan dan tidak boleh
menggunakan kekerasan. Haruslah melalui jalur hukum. Fahri Hamzah pun
sebelumnya pernah menyampaikan bahwa pemerintah boleh saja mengajukan gugatan
ke pengadilan namun terlarang baginya untuk melakukan pembubaran begitu saja
tanpa proses pengadilan. HTI sebagai yang digugat juga berhak mengajukan
pembelaan atau gugatan balik pada pemerintah. “prosesnya pasti panjang,
tidaklah mudah,” tambah Fahri (8/5/2017).
Pemberitaan HTI dibubarkan
pemerintah (yang sebenarnya masih rencana) berhasil membuat fenomena snowball di tengah-tengah masyarakat
dengan bergulirnya opini-opini berbau pro dan kontra. Meski banyak yang sinis dengan ide yang dibawa
HTI yang kemudian mereka berlega hati dengan berita pembubaran itu, namun tidak
sedikit dari masyarakat yang mendukung HTI agar tetap eksis di Indonesia. Ulama,
negarawan, aktifis, pengusaha dan berbagai elemen masyarakat, satu per satu
menunjukkan dukungannya untuk HTI. Walau tidak semua yang memberi dukungan pada
HTI berarti sepakat dengan ide Khilafah Islamiyah yang selalu dikampanyekan HTI.
Namun setidaknya, mereka mengakui kontribusi nyata HTI dalam kegiatan pembangunan
negara dan melihat tidak ada aktifitas dakwah HTI yang perlu dipermasalahkan. Terbukti,
dalam sehari atau dua hari semenjak pemberitaan di tanggal 8 Mei 2017 itu,
tagar #kamibersamahti menjadi tagar terpopuler dan teratas di media sosial, di twitter misalnya. Polling-polling suara yang diselenggarakan beberapa media terkait
rencana pembubaran HTI, menunjukkan hasil bahwa dukungan masyarakat banyak
tertuju untuk HTI dibandingkan untuk pemerintah.
Tagar #KamiBersamaHTI Populer |
Rasanya akan cukup susah
bagi pemerintah untuk menggugat HTI dengan segala tuduhan yang sebenarnya hanya
bersumber dari perasaan mereka. HTI dalam setiap aksinya selalu damai, tertib,
dan bersih. Dakwahnya benar-benar ideologis, tanpa paksaan dan tanpa kekerasan
meski cenderung antimainstream.
Penulis telah sejak maba, tepatnya tahun 2012 bersentuhan secara langsung
dengan teman-teman HTI, tentu melalui forum diskusi. Selama itu, Penulis
melihat, meski tidak sedikit yang menentang, menolak atau pun meragukan apa yang disampaikan HTI, namun kader-kader
HTI selalu berhasil tampil elegan dan tidak emosional dalam menyikapi
sikap-sikap kontra tersebut. Tidak ada seorangpun yang telah berinteraksi
dengan mereka lantas meragukan kesabaran dan kecerdasan kader-kader HTI dalam
menyampaikan dakwah dan kewajiban ummat untuk terikat utuh pada syariah.
Pada waktu yang lain, Penulis juga pernah beberapa kali ikut terlibat dalam aksi teman-teman HTI Malang. Pertama kali datang, karena diundang. Masya Allah! Benar-benar aksi yang berbeda, unik, dan membuat merinding. Berdiri berkumpul di tengah jalan memang tidak jauh berbeda dengan aksi yang biasa Penulis ikuti. Namun, jika di aksi-aksi sebelumnya laki-laki dan perempuan dicampur menjadi satu tanpa formasi tertentu, di aksi bersama teman-teman HTI laki-laki dan perempuan dipisah dengan jarak sekira tiga sampai lima meter dan biasanya dibuat dua shaff. Persiapan atribut terbilang cukup matang sebab, Penulis yang datang hanya dengan membawa diri saja bisa sampai kebagian atribut entah itu alliwa’ besar (bendera putih Rasulullah), atau arrayah besar (bendera hitam Rasulullah) atau spanduk-spanduk permasalahan ummat. Yel-yel selalu ada, liriknya unik namun tetap kritis, sesuai dengan tuntutan aksi. Baik awal hingga akhir aksi selalu ada doa. Uniknya, selama Penulis beberapa kali turut aksi bersama teman-teman HTI, ketika digaung-gaungkan Syariah, Khilafah, Allahu Akbar! mendung lantas menyelimuti. Tak jarang kami pun diguyur gerimis bahkan hujan. Yang paling membuat Penulis terkesan adalah ketertiban dan kebersihan yang terus dijaga selama aksi. Jika di aksi-aksi yang pernah penulis ikuti sebelumnya, biasanya formasi itu kacau dan di akhir aksi biasanya menyisakan sampah, entah itu putung rokok, kertas dan bungkus permen. Selama aksi berlangsung hingga berakhir, teman-teman HTI tidak menyisakan sedikitpun sampah bahkan sedotan atau bungkus permenpun tidak akan dibiarkan ada. Wajar makanya, jika Rokhmat Labib berani menantang pemerintah untuk mencari catatan HTI di kepolisian, sebab memang setiap aksi selalu dibuat rapi, bersih dan tertib.
Pada waktu yang lain, Penulis juga pernah beberapa kali ikut terlibat dalam aksi teman-teman HTI Malang. Pertama kali datang, karena diundang. Masya Allah! Benar-benar aksi yang berbeda, unik, dan membuat merinding. Berdiri berkumpul di tengah jalan memang tidak jauh berbeda dengan aksi yang biasa Penulis ikuti. Namun, jika di aksi-aksi sebelumnya laki-laki dan perempuan dicampur menjadi satu tanpa formasi tertentu, di aksi bersama teman-teman HTI laki-laki dan perempuan dipisah dengan jarak sekira tiga sampai lima meter dan biasanya dibuat dua shaff. Persiapan atribut terbilang cukup matang sebab, Penulis yang datang hanya dengan membawa diri saja bisa sampai kebagian atribut entah itu alliwa’ besar (bendera putih Rasulullah), atau arrayah besar (bendera hitam Rasulullah) atau spanduk-spanduk permasalahan ummat. Yel-yel selalu ada, liriknya unik namun tetap kritis, sesuai dengan tuntutan aksi. Baik awal hingga akhir aksi selalu ada doa. Uniknya, selama Penulis beberapa kali turut aksi bersama teman-teman HTI, ketika digaung-gaungkan Syariah, Khilafah, Allahu Akbar! mendung lantas menyelimuti. Tak jarang kami pun diguyur gerimis bahkan hujan. Yang paling membuat Penulis terkesan adalah ketertiban dan kebersihan yang terus dijaga selama aksi. Jika di aksi-aksi yang pernah penulis ikuti sebelumnya, biasanya formasi itu kacau dan di akhir aksi biasanya menyisakan sampah, entah itu putung rokok, kertas dan bungkus permen. Selama aksi berlangsung hingga berakhir, teman-teman HTI tidak menyisakan sedikitpun sampah bahkan sedotan atau bungkus permenpun tidak akan dibiarkan ada. Wajar makanya, jika Rokhmat Labib berani menantang pemerintah untuk mencari catatan HTI di kepolisian, sebab memang setiap aksi selalu dibuat rapi, bersih dan tertib.
Telah banyak Penulis tahu
bahwa setiap agenda besar HTI selalu ada saja pihak yang berusaha menggagalkan.
MTU (Muktamar Tokoh Ummat) jika di Malang berhasil dilangsungkan, di Surabaya, Penulis dengar malah
dibubarkan. Ah, kasihan sekali, tidak terbayang bagaimana kecewanya panitia
pelaksana. Pernah juga Penulis melihat dengan mata kepala sendiri betapa
kesabaran dan perjuangan dakwah teman-teman HTI begitu besar. Suatu waktu, di
tahun ini (Penulis lupa bulan apa), ketika pelaksanaan Round Table Discussion
(RTD) se-Malang Raya, peserta di pagi hari telah memenuhi suatu aula di
Perguruan Tinggi Negeri berlabel islam di Malang. Tiba-tiba setelah duduk dan
berbincang beberapa menit dan menikmati dekorasi ruangan, kami menerima
himbauan dari panitia bahwa tempat RTD dipindah ke salah satu gazebo di
Perguruan Tinggi Negeri yang berbeda. Kami keheranan. Ketika ditanyakan ke
panitia, rupanya Dekan membatalkan perizinan tempat secara sepihak di hari H.
Ah, rasanya seperti disambar geledek di siang bolong. Parah sekali niat
menggagalkan acara ini. Kenapa tidak jauh-jauh hari jika tidak menghendaki?
Beruntunglah, peserta tidak keberatan dan tempat yang dituju tidak terlalu jauh
dari sana. Lagi-lagi Penulis salut dengan kesabaran teman-teman HTI. Penulis juga
sempat tahu, beberapa waktu yang lalu, seminar Cinta Mulia yang hanya mengundang Ustadz Felix Siuaw, salah seorang
anggota HTI, juga dibubarkan. Polisi mengaku terpaksa membubarkan karena
didesak oleh “Ormas yang biasa membubarkan pengajian”. Tuduhan yang diarahkan
kepada seminar itu apa? Tuduhan Makar! Penulis tidak habis fikir, bagaimana
bisa tuduhan makar dilemparkan begitu saja pada satu kajian intelektual yang
membahas bahaya pergaulan bebas? Ah, benar-benar sudah kebanyakan konsumsi mi
instan tampaknya. Kan kasihan, peserta yang sudah datang jauh jauh juga sudah
bayar tiketnya yang tidak murah.
Berawal dari Skenario Parpol Mawar Merah
Akhir-akhir ini pemerintah
menampakkan sentimennya pada pergerakan-pergerakan islam yang cenderung
bersikap kritis dan oposisi padanya. Semua bermula dari naiknya Bapak Joko
Widodo sebagai Presiden RI yang sebenarnya pada waktu yang bersamaan masa
jabatannya sebagai Gubernur DKI belumlah usai. Siapapun yang suka mengamati percaturan
politik atau mungkin sudah pernah bermain di dalamnya, haruslah menyadari bahwa
itu semua adalah skenario besar dari parpol “ Merah” yang diketuai Mbah Wati.
Penulis tidak menyebutkannya dengan gamblang sebab Penulis khawatir nanti
dikira hendak mengiklankan mereka. Jadi kita sebut saja parpolnya, Parpol Mawar
Merah. Kebetulan sesuai dengan aksi mereka akhir-akhir ini, menebar wacana
perdamaian dengan menebar Mawar Merah. Semoga mawar merahnya tidak berduri.
Naiknya Bapak Joko sebagai
presiden RI seolah-olah memaksa wakil gubernurnya untuk menggantikan posisinya
sebagai gubernur ibu kota. Di sini skenario besar benar-benar telah tampak di
permukaan. Pengganti itu dikenal dengan inisial
BTP. Entah berapa banyak dana yang digelontorkan hingga media kompak
beramai-ramai mengharumkan namanya. Dijabarkan kesuksesan-kesuksesan BTP hingga
ia berhasil menjelma menjadi sosok kharismatik di negeri ini.
Di dunia kampus, mahasiswa
sudah biasa bersentuhan dengan hal-hal yang semacam ini. Menjelang detik-detik
Pemilihan Mahasiswa Raya (pemilunya mahasiswa di kampus), akan muncul sosok
sosok yang mendadak hebat dan tampil setara dewa. Orang-orang yang pada
akhirnya disebut “sosok” itu pada awal mulanya, bisa jadi, bukanlah
siapa-siapa. Tidak berprestasi, tidak terlalu cerdas, hanya memang memilki satu
keunggulan yang disepakati oleh teman-temannya untuk dibumikan demi sukses melenggang
dalam kancah Pemira (Pemilihan Mahasiswa Raya). Berkat kerja keras tim sukses yang
tentunya melibatkan jaringan dan media yang tentu tidak murah, maka hampir semua
mahasiswa, baik yang rajin ke kampus hingga yang jarang ke kampus, mau tidak
mau akan mengenalnya. Bak iklan mi instan. Dikesankan mi instan yang diiklankan
itu benar-benar enak, menggoyang lidah hingga siapapun yang menonton atau
melihat iklan itu akan terdorong untuk membelinya, mencobanya dan menikmatinya
bahkan jika perlu setiap waktu. Soal rasa dan kemasan produk mi instan, memang
tidak diragukan lagi. Namun siapapun yang mencermati ingridients mi instan, tentu tidak akan mudah tergiur. Ya,
manusia-manusia yang mendadak hebat setara dewa menjelang detik-detik pemilu
adalah sama seperti mi instan, yang diiklankan.
“Beginilah demokrasi, ruang iklan mi instan bagi para pemilik modal sementara masyarakat adalah pembelinya. Apa masyarakat benar-benar diuntungkan?” tanya nurani yang memaksa Penulis untuk turut menuliskannya.
Mendekati masa pemilihan
gubernur DKI, suasana Jakarta memanas. Panasnya menyeruak menyebar meluas
hingga ke seluruh penjuru negeri bahkan hingga negarawan Malaysia, Brunei Darussalam
dan RRC hingga Amerika sekalipun ikut merasakannya. Apa pasalnya? Pasalnya
adalah nama BTP yang masuk dalam daftar bakal calon gubernur DKI. Kaum muslim
yang mendominasi di negeri ini ditabrakkan dengan berbagai pemikiran yang
membuat dilema. Juru khutbah yang satu berkata, “lebih baik mana pemimpin kafir
tapi adil atau pemimpin muslim tapi korup?” Juru khutbah di masjid lain dengan
tegas berkata, “haram hukumnya ummat islam mengambil orang kafir sebagai
pemimpin.” Khutbah yang terakhir ini sering diisukan mengandung muatan SARA dan
entah berapa banyak juru khutbah yang dilaporkan atas khutbahnya itu. Sementara
khutbah yang pertama sukses kebanjiran dukungan. Masyarakat yang berpihak pada
khutbah pertama memandangnya sebagai hal yang objektif, rasional, humanis dan
demokratis. Ketika disuguhkan dalil –dalil keharaman memilih pemimpin kafir,
mereka pun menjawab kompak, “lebih baik mana, pemimpin kafir tapi adil atau
muslim tapi korup?” Lucu sekali, bagaimana bisa dalil dibantah dengan argumen?
padahal mestinya dalil dibantah dengan dalil. Tapi sayangnya dalil-dalil dalam
Al-Qur’an mustahil saling berbantahan.
Rezim Panik; Makin Sensitif, Makin Represif
Perdebatan panjang itu
berlangsung sekian lama dan dukungan untuk khutbah pertama bertambah banyak.
Wajar, khutbah pertama di bawa oleh ormas islam dengan basis massa terbesar di
negeri ini. Hingga memasuki tahun baru 1438 Hijriah yang bertepatan dengan
bulan September 2016 Masehi, media sosial dihebohkan dengan kabar penistaan
agama yang dilakukan BTP. Barang buktinya jelas, video orasi BTP di Kepulauan
Seribu. Memang awal mulanya tidak semua orang peduli akan kasus ini hingga FPI
(Front Pembela Islam) bersama ormas-ormas islam lainnya menggelar aksi ba’da
shalat jum’at di Jakarta kemudian di minggu berikutnya dan minggu minggu berikutnya di bulan Oktober
disusul aksi dukungan di kota-kota lain. Aksi yang selalu diselenggarakan di
hari jum’at itu tidak lain untuk menuntut agar BTP segera diproses hukum sebab
telah banyak laporan yang dikirimkan ke Kapolri terkait BTP namun Kapolri belum
juga memprosesnya. Disinilah masyarakat mulai melirik, mulai peduli dan mulai
mau membaca apa yang sebenarnya terjadi. Maka, satu persatu, kaum muslim yang
mendukung khutbah pertama, jadi berubah haluan, condong pada khutbah yang
katanya mengandung muatan SARA itu. Satu persatu, yang awal mulanya percaya dan
menaruh harapan pada BTP mulai berbalik arah. Ramailah dukungan untuk FPI, HTI,
Muhammadiyah dan ormas-ormas islam lainnya yang sejak dulunya telah menolak BTP
untuk Indonesia bahkan sebelum adanya kasus penistaan agama. Dukungan tidak hanya datang dari kaum muslimin saja, namun
juga dari tokoh-tokoh berpengaruh yang berbeda agama seperti Zeng Wei Zian,
Jaya Suprana, Kwiek Kian Gie, dan Lius Sungkarisma. Hingga terselenggara aksi
yang membuat bulu roma berdiri, rezim panik bahkan dunia turut memusatkan
perhatiannya pada Indonesia. Aksi 411 (4 November 2016) dan aksi 212 (2 Desember
2016) yang jika menonton kembali rekaman aksi itu, nyata sekali, ukhuwah di antara
ummat ini begitu erat ketika menggenggam Al-Qur’an. Nyata sekali betapa
kewibawaan itu ada pada tangan kaum muslimin ketika mereka rela menjadi pasukan
siap mati demi agamanya. Nyata pula perjuangan menegakkan kemuliaan islam tidak
lantas membuat agama lain tertindas dan tergusur. Malah mereka (yang berbeda
agama) turut merasakan sejuknya perjuangan ini.
Penulis katakan,
bersatunya ummat islam yang dimotori sejumlah ormas islam adalah klimaks dimana
pemerintah mulai sering bermimpi buruk hingga akal sehatnya menurun drastis.
Pemerintah mulai berfikir keras bagaimana membendung gerakan-gerakan ummat yang
dikhawatirkan akan menyebabkan dilengserkannya mereka secara tidak terhormat.
Perlahan “efek konsumsi mi instan” semakin tampak pada tubuh dan cara berfikir
pemerintah. Bukannya pemerintah melakukan introspeksi namun malah menekan
ormas-ormas islam melalui badan-badannya dan wewenangnya. Tuduhan makar,
anti-pancasila, anti-NKRI, radikalisme, meresahkan warga, potensi mengganggu
ketertiban umum, memecah belah ummat dilemparkan secara merata pada ormas-ormas
islam yang meramaikan aksi 411 dan 212. Tekanan demi tekanan dilakukan mulai
kepada para tokoh GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama
Indonesia),berlanjut pada tokoh-tokoh FPI (Front Pembela Islam), kini menjalar
pada HTI. Rezim, sehat?
Bahasan selanjutnya, silahkan dibaca, Mengapa Harus HTI dan Bagaimana Setelahnya?
Bahasan selanjutnya, silahkan dibaca, Mengapa Harus HTI dan Bagaimana Setelahnya?
Comments
Post a Comment