Mengapa Harus HTI dan Bagaimana Setelahnya?

“Islam beribadah, akan dibiarkan. Islam berekonomi, akan diawasi. Islam berpolitik, akan dicabut seakar-akarnya,” Mohammad Natsir, Masyumi.

Pada tulisan sebelumnya (Pembubaran Ormas Berbadan Hukum Tidak Semudah Sulap Pak Tarno), Penulis mencoba membuat analisa kecil awal mula munculnya tekanan pada ormas islam yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini. Kini pembahasan kita masuk kepada, Mengapa Harus HTI dan Bagaimana Setelahnya? Maka disini penulis berusaha mengumpulkan dan memaparkan beberapa keterangan dan argumen yang sekiranya akan menjawab pertanyaan di atas.

Pemerintah Anti-Kritik, Langkah Awalnya, Bubarkan HTI!

“Memang ada kecenderungan ke situ (kondisi perpolitikan di Indonesia yang mendorong pemerintah membubarkan HTI). HTI, keberadaannya memang begitu dalam, dalam hal mengkoreksi bagaimana peranan negara terhadap kepentingan rakyatnya. Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan baik individu dengan masyarakat, dengan Allah juga dalam hal bernegara. Saya kira memang organisasi ini (HTI) adalah organisasi yang nyata peduli pada rakyat juga pada negara. Pengajiannya memang mengusik (bagi negara yang enggan introspeksi diri) sebab senatiasa mengkritis kebijakan-kebijakan yang semakin mencekik rakyatnya,” ujar Ahmad Michdan, Advokat dari TPM (Tim Pembela Muslim) dalam satu forum bertema Radikalisme, Sekulerisme dan Pancasila yang diselenggarakan iNews TV.
Penulis yakin, siapapun yang pernah membaca buletin Al Islam, Majalah Al Wa’ie, atau pun tulisan-tulisan di web HTI, maka akan sepemikiran dengan Ahmad Michdad, bahwa HTI memang begitu dalam, dalam hal mengoreksi pemerintahan. Koreksi dalam setiap rezim tentu ada, ianya adalah buffer untuk mengontrol pemerintah agar tidak sewenang-wenang membuat kebijakan. Jika sebagian orang memilih turun ke jalan untuk menyalurkan aspirasi bukan berarti mereka tidak lagi peduli dengan wibawa kepala negara atau pun dewannya. Aksi sejatinya adalah jalan terakhir disebabkan ulah pemerintah sendiri yang berpura-pura tuli dan buta pada kritik dan saran para tokoh yang berdialog berhadap-hadapan dengannya. Pemerintah juga bersikap kekanak-kanakan dalam menyikapi kritik yang dihadapkan padanya. Bukannya mengevaluasi diri malah menekan setiap pelaku kritik dengan melempar tuduhan makar, anti-kebhinekaan, anti-NKRI, anti-Pancasila.

Stigmatik Anti-Pancasila; HTI dan Masyumi

“Pangkal permasalahan di negeri ini kan sebenarnya adalah liberalisme. Coba lihat undang-undang sekarang. Sekarang katakanlah semua orang berbicara Pancasila. Benarkah konsisten dengan itu (Pancasila)? Pertanyaan saya, undang-undang migas dan undang-undang  SDA (sumberdaya alam) yang liberal dan menjadikannya komersil, apakah sudah sesuai dengan Pancasila?  Ada 76 lebih yang seperti itu! Pertanyaan saya, kenapa ketika membahas undang-undang itu tidak ada yang mengatakan anti-Pancasila? Namun ketika ummat islam menggaungkan pentingnya penegakan syariah dan khilafah selalu dikatakan anti-Pancasila? Di sisi lain, setiap tindakan kapitalisme-liberalisme tidak dikatakan anti-Pancasila?”  tutur Rokhmat Labib, Ketua DPP HTI dalam forum yang sama dengan Ahmad Michdan untuk menjawab tudingan HTI anti-Pancasila.
Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI turut menyampaikan di media lain, bahwa retorika anti-Pancasila hanya digunakan sebagai senjata politik untuk menyerang pihak lain yang tidak disukai. “Dulu, apa-apa yang menentang pemerintah dianggap anti-Pancasila. Bahkan saya masih ingat, dulu dakwah kita (HTI) di kampus yang membuat para mahasiswi semangat memakai kerudung pun (disebut) anti-Pancasila,” jelasnya yang dilansir dalam Republika (2/5/2017). Ismail mempertanyakan pula maksud anti-Pancasila yang sering dituding-tudingkan pada HTI dengan mempertanyakan apakah penista Al-Qur’an sesuai dengan Pancasila? Apakah yang melindungi penista Al-Qur’an sesuai dengan Pancasila? Yang menjual BUMN ke pihak asing apakah sesuai dengan Pancasila? koruptor, dan yang melindungi koruptor apakah mereka sesuai dengan Pancasila? Bagi Ismail nyata sudah, bahwa retorika anti-Pancasila hanya menjadi senjata untuk memukul mundur pihak lain yang tidak disukai pemerintah.
Anti-Pancasila Berdasarkan Undang Undang Ormas

Di sisi lain ada cuitan yang cukup menyita perhatian. “Stigma anti Pancasila, anti NKRI tidak boleh dilakukan negara atau pihak manapun. Politik stigmatik adalah cara fasis membungkam lawan politik,” cuit Aidul Fitriciada A.  melaui akun twitternya @AidulFa pada 6 Mei 2017. “Perilaku Rezim Fasis akan membabibuta memberangus pihak-pihak yang tidak sepaham dengannya lewat stigma-stigma fitnah politik dan sosial, untuk memperkeruh suasana, guna melegitimasi tindakan represif suatu rezim kepada fihak lain. Rezim akan menebar teror dan pembusukan pihak-pihak oposisi seperti menstigma anti toleransi, Pancasila, NKRI, kepada ormas-ormas islam, atau lawan politiknya, juga kepada masyarakat umum bila tak sefaham akan kebijakan rezim yang dikuasainya,” tambah Aidul, Ketua Komisi Yudisial RI melalui dua ciutan berikutnya.
Penulis mengira bahwa tulisan Aidul terinspirasi dari fakta sejarah dimana sebelumnya Pancasila dijadikan senjata untuk memukul mundur pihak yang tidak disukai pemerintah. Ingat kalimat ini?
 “Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila! Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada UUD 1945 harus setuju kepada Nasakom, siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada UUD 19451.
Tentu pembaca yang budiman, yang sudah pernah membaca sejarah negeri ini bisa menebak, siapakah tokoh yang berbicara dengan kalimat di atas. Pada banyak referensi yang sudah penulis baca, kalimat tersebut merupakan bentuk gertakan sekaligus paksaan Soekarno agar seluruh elemen masyarakat mau menerima NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Masyumi merupakan partai berideologi islam yang banyak mengambil sikap oposisi pada Soekarno dan menolak keras konsep NASAKOM semenjak melihat kedekatan Soekarno dan perlindungan yang diberikannya kepada PKI (Partai Komunis Indonesia). Bagi Masyumi, NASAKOM tidak lain adalah upaya Soekarno untuk memasukkan secara paksa ideologi komunisme ke dalam seluruh elemen masyarakat di Indonesia. Komunisme jelas bertentangan dengan islam. Jelas sudah, melalui kekuasaannya, Soekarno menstigma para oposisinya dengan sebutan anti-NASAKOM, anti-Pancasila, anti-UUD 1945 demi melenggang mulus bersama PKI. Kemudian pada tahun 1960, diterbitkanlah Keputusan RI No.200 Tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960 tentang Pembubaran Masyumi. Masyumi dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), padahal sebab utamanya adalah Masyumi anti-PKI. Ini semua tidak lain adalah langkah legal konstitusional yang sengaja diambil Soekarno untuk memukul mundur rival politiknya seperti Masyumi. Pada waktu sebelumnya Soekarno telah menerbitkan Penpres No. 7 Tahun 1959 tertanggal 31 Desember 1959 yang didalamnya mengatur penyederhanaan partai politik. Penpres ini memiliki muatan yang menggambarkan maksud terselubung Soekarno yakni untuk memberangus para penentangnya.  Pada bab IV pasal 9 berbunyi bahwa Presiden sesudah mendengar Mahkamah Agung dapat melarang dan atau membubarkan partai yang: 1.) Bertentangan dengan azas dan tujuan negara 2.) Programnya bermaksud merombak azas dan tujuan negara 3.) Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya. 4.) Tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Penetapan Presiden itu.2 Keputusan RI No.200 Tahun 1960 disikapi Masyumi dengan dua cara; pertama, Pimpinan Partai Masyumi menyatakan Masyumi bubar, melalui suratnya No. 1801BNI-25/60 tanggal 13 September 1960. Partai Masyumi membubarkan diri demi menghindari cap sebagai partai terlarang dan jatuhnya korban dari anggota atau pun simpatisan Masyumi sendiri. Kedua, Masyumi menggugat Sukarno ke pengadilan. Usaha Masyumi mencari keadilan di pengadilan ini menemui jalan buntu dikarenakan adanya intervensi Soekarno terhadap pengadilan itu sendiri.3

Soekarno Tidak Berhenti Pada Pembubaran Masyumi, Lalu Jika Pembubaran HTI Berhasil?

Tidak berhenti sampai Masyumi, Tahun 1963, Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 139 tahun 1963 tentang pembubaran GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Selanjutnya, di tahun yang sama, dilakukan penangkapan pada sejumlah tokoh yang teindikasi anti-NASAKOM (anti-PKI) seperti K.H. Buya Hamka, K.H. Yunan Helmi Nasution, K..H. Isa Anshari, K.H. Mukhtar Ghazali, K.H. EZ. Muttaqien, K.H. Ghazali Sahlan, K.H. Soleh Iskandar, dan K.H. Dalari Umar. Tidak berhenti sampai disitu, bahkan organisasi pergerakan mahasiswa islam tertua di Indonesia, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) nyaris dibubarkan. Tuduhan yang ditujukan pada HMI adalah HMI kontra revolusioner, anti-Manipol, dan dianggap underbouw  Masyumi. Tuduhan-tuduhan itu muncul sebab HMI menjadi organisasi mahasiswa paling kritis pada setiap kebijakan pemerintah saat itu, sama seperti Masyumi. Namun Soekarno memilih bersabar dan urung membubarkan sebab banyak pihak yang segera pasang badan untuk HMI termasuk Menteri Agama di masa itu, K.H. Saifuddin Zuhri. Kisah ini pun turut diabadikan K.H. Saifuddin Zuhri dalam bukunya yang berjudul, Berangkat dari Pesantren.
Jelas sudah bahwa sikap represif pemerintah dengan mengambil langkah legal konstitusional dan melempar stigma anti-Pancasila tidak lain adalah upaya membangun jalan tol untuk dirinya dan anak-anak emasnya. Jikapun pada pemerintahan ini, pemerintah berani mengambil langkah hukum untuk membubarkan HTI maka tidak menutup kemungkinan akan berlanjut untuk memberangus ormas-ormas islam lainnya. Wacana pembubaran HTI memang sudah ada sejak dulu, namun baru kini pemerintah berani terang-terangan bahkan mengadakan konferensi pers semata menyampaikan rencananya tersebut. FPI mungkin akan bernasib sama, sebab pemerintahan kini lebih represif dibandingkan sebelumnya dan wacana pembubaran FPI sudah ada bersamaan dengan wacana pembubaran HTI. Jika pada masa Soekarno, membubarkan Masyumi menggunakan dalih keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI yang sebenarnya pemberontakan itu muncul akibat perlakuan spesial Soekarno pada PKI. Maka bisa jadi, pembubaran ormas-ormas islam lainnya digunakan dalih yang sama yakni memotori aksi makar 411, 212, dan seterusnya, yang sebenarnya aksi-aksi tersebut lahir karena keberpihakan pemerintah pada BTP, Si Penista Agama. Akankah merembes pula pada pembubaran organisasi-organisasi mahasiswa islam ataupun pergerakan pemuda islam lainnya? Ah, agaknya Penulis kurang yakin aksi pemerintah akan sampai ke situ (pada pembubaran organisasi –organisasi mahasiswa islam) sebab pergerakan mahasiswa islam kini tidak serevolusioner dulu. Atau hanya Penulis yang kebetulan dekat dengan aktifis-aktifis mahasiswa islam yang sudah kehilangan arah perjuangan, turun nalar kritisnya dan cenderung pragmatis-oportunis?
#Kamibersamahti

Anisa El Kamilia
Kader HMI FPIK UB 2012

Refrensi :
1.    Maarif, Ahmad Syafii. 1996. Islam dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta : Gema Insani Press.
2.    Ahmad, Zaini Muslim. 2013. Sikap Politik Soekarno terhadap Partai Masyumi 1957-1960. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang.
3.    Siregar, Insan Fahmi. Partai Masyumi: Pembentukan, Perkembangan, dan Pembubarannya 1945-1960. Abstrak Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.
4.    ___________________. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Partai Masyumi (1945-1960). Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang.

5.    Hermayati, Nur Fitri. 2012. Upaya Nasakomisasi TNI-AD dan Dampaknya pada Situasi Politik Indonesia Tahun 1960-1967. Universitas Pendidikan Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

“ABRAHAMIC FAITHS”, BAGIAN DARI PROPAGANDA PLURALISME (MELURUSKAN KESALAHPAHAMAN TERHADAP KITAB-KITAB TERDAHULU) 2

GANTUNG DIRI DI DALAM RUMAH; BUKTI GAGALNYA DIDIKAN KELUARGA

“ABRAHAMIC FAITHS”, BAGIAN DARI PROPAGANDA PLURALISME (MELURUSKAN KESALAHPAHAMAN TERHADAP KITAB-KITAB TERDAHULU) 1