Perjalanan Hijrah (Episode IV)
AL KISAH AL ISLAM (PERTAMA)
Aku sudah biasa melihat dan membaca buletin, mulai dari
buletin berita, opini, hingga ceramah agama. Hingga sampai pada satu hari, aku
mendapati satu buletin ada di tanganku dan sangat tidak aku fahami.
Pagi itu. Pagi pagi sekali, jalanan kampus masih sepi. Hari
itu masih hari pekan sunyi semester satu (tahun 2012).
Aku dengan seorang kawanku dari organisasi pergerakan yang sama, Kiki
namanya. Dia gadis asal Majalengka. Antara aku dan Kiki, kami punya kesamaan;
sama-sama suka pedas dan suka berpetualang. Tapi petualangan Kiki biasanya
lebih ekstrim dibandingkan petualanganku. Kami berdua kebetulan sama-sama tidak
pulang kampung. Aku memilih tidak pulang kampung sebab waktu itu aku masih
junior (red. Maba) dan aku khawatir ketinggalan berita akademik jika aku kembali
ke kampung halaman. Terlebih jika aku ingat bahwa kendaraan roda empat adalah
ujian terberat untuk lahir dan batinku. Berlembar-lembar kresek hitam harus aku
persiapkan untuk mengantasipasi takdir buruk yang segera menimpa ketika antimo
dan tidur sudah tak mampu menangkalnya lagi. Yah, mabuk darat memang tak pernah
menyenangkan bagi perantau pemula sepertiku.
Aku dan Kiki bermaksud ke komisariat untuk mengusir
kejenuhan karena sedikitnya aktifitas di pekan sunyi. Saat melintasi Fakultas
Teknologi Pertanian (FTP) menuju bundaran air mancur UB, langkah kami terhenti dikarenakan
dua gadis asing berhijab lebar menghampiri kami dan memberi kami salam.
“Assalamu’alaikum!” sapa salah
satu dari mereka.
“Waalaikumsalaam,” jawab kami berdua
“Boleh minta waktunya sebentar?”
“Boleh, ada apa mbak?” jawab kiki
Disodorkannya lembaran bercorak
biru pada kami berdua. Tulisan AL ISLAM tercetak tebal-kapital pada kop
lembaran itu yang didahului dengan lafad arab bismillahirrahmanirrahim di
atasnya. Judul topiknya sepertinya sedang hits pada waktu itu, tapi ah, aku
lupa apa judulnya. Terdapat rangkaian paragraf yang panjang, padat, disertai
kutipan beberapa ayat, dan subtopik mulai dari permasalahan, akar permasalahan
hingga solusi ada pada lembaran bercorak biru itu. Lalu kami berkenalan.
“Sebelumnya sudah pernah dapat buletin
ini?” tanya salah seorang dari mereka
“Sudah pernah” jawab kiki
“Aku.... baru kali ini” jawabku
“Oh, kiki sudah pernah dapat ya
sebelumnya. Berarti Anisa yang baru tahu sama buletin ini”
“Hu’um,” jawabku sambil mengangguk
kecil
“Jadi, ini buletin Al Islam dari
Hizbut Tahrir yang terbitnya seminggu sekali...”
Al Islam Edisi 3 Maret 2017 |
Dua puluh menit kemudian, diskusi itu pun
berakhir. Entah siapa yang mengakhiri lebih dulu. Sebelum berpisah, mereka
meminta kontak personal kami. Aku merasa heran ketika melihat salah satu dari
mereka hendak mencatat nomor hp kami.
“Apa itu? Kenapa banyak sekali
deretan nomor hp? Memang mereka ini siapa? Dan untuk apa nomor hp sebanyak itu,
hmmmm...” gumamku heran - ketika melihatnya mencatat nomor hp kami pada secarik
kertas yang berisikan deretan nomor hp dan nama.
“Ah, mereka tampak seperti agen
MLM (multilevel markertting) saja.
Tapi MLM apa yang bicaranya menggunakan istilah sekuler dan khilafah?” gumamku
lagi sambil memperhatikannya mencatat. Hingga aku pun memberikan nomor hpku
dengan perasaan penuh tanya.
Bagiku mereka terlihat agak aneh.
Karena; 1.) mereka mencegat kami dengan buletin di jalan yang sepi di pagi
hari, 2.) mendadak mengajak kami berdiskusi (dan aku membenci segala hal yang
mendadak) 3.) kemudian meminta nomor hp kami untuk sewaktu-waktu dihubungi.
Hey, dihubungi untuk apa? Ah, makin kuat saja dugaanku jika mereka ini agen
MLM. Tapi agen MLM apa? Aku juga dibuat pusing dengan bahasan di buletin itu. Banyak
hal yang tidak aku fahami. Entah, mungkin karena wawasanku yang belum seberapa
waktu itu. Selain topiknya cukup berat, aku pun tidak memahami solusi yang
diberikan pada buletin itu. Kenapa tiba-tiba khilafah? Hey, konsep apa ini?
Darimana ini? Untuk apa mereka melakukan ini? Aku melanjutkan perjalanan dengan
serangkaian pertanyaan itu di kepalaku. Kemudian aku menepisnya, sebab kukira itu
hanya membuang –buang energi.
“Ah, sudahlah aku tak perlu
pusingkan siapa mereka dan apa yang mereka bahas. Toh tidak akan bertemu lagi
setelah ini,” begitu fikirku.
Ya, benar saja. Segala sesuatu
yang dianggap hanya sebagai angin lalu lebih mudah dilupakan. Buktinya,
beberapa jam setelah berpisah, hilanglah ingatanku tentang mereka. Jika bukan
karena salah satu dari mereka datang lagi dan mengingatkanku akan perjumpaan di hari itu. Dari sinilah aku "terpaksa" mencari kebenaran dan "menguji kebenaran" yang dahulunya aku yakini...
Comments
Post a Comment