Perjalanan Hijrah (Episode III)

GAK COCOK, MEL!



"Eh! tuh tuh.. coba lihat!" ujarku pada Mey, Nana dan Ola sambil mengisyaratkan mereka untuk melihat sesuatu di belakang Mey. Ketiganya terlihat mencari sesuatu yang kuisyaratkan.

Siang itu kami berempat berkumpul di satu meja di sisi kanan koridor Perpustakaan UB. Kami menunggu dua orang teman lainnya untuk mengerjakan tugas kelompok. Ola dan aku duduk berhadap-hadapan. Mey duduk di sebelah Ola dan Nana di sebelahku. Mey, asyik dengan laptopnya. Nana dengan buku bacaannya dan Ola dengan handphone-nya. Mey, Nana dan Ola; ketiganya adalah teman sepaket. Ya, ibarat berbelanja, kita masuk dalam promo "beli satu dapat tiga".

Mataku asyik menyisiri pemandangan di koridor perpustakaan. Wajah-wajah kudapati terfokus pada monitor laptop dan handphone-nya. Jika tidak, pasti pada bukunya, laporannya atau teman diskusinya. Yah, hanya begitu begitu saja pemandangan di koridor perpustakaan. Hingga mataku tertuju pada kain biru dongker sepanjang 156 cm yang 'bergerak sendiri' menyusuri koridor perpustakaan.
"Oh, kain yang cantik," ujarku dalam hati. 
Tanpa disadari, aku pun tersenyum. Tidak berlebihan jika aku melihatnya sebagai 'kain yang berjalan sendiri'. Hijabnya benar-benar lebar menjuntai. Tak terlihat bentuk tubuh sedikitpun. Kerudung dan gamisnya memiliki warna yang sama tanpa gradasi. Ia pun hanya berjalan seorang diri di tengah-tengah manusia yang sibuk berkoloni. Kalau bukan karena wajah dan tangannya yang masih terlihat, aku tidak akan berfikir bahwa itu adalah seorang gadis. Mataku terus mengamatinya. Aku berkedip sekali. Dan setelahnya aku terpesona. Semakin ia tampak mendekat, senyumku makin merekah, sinar mataku bertambah nyala, dan dadaku terasa penuh akan sesuatu. Ah, entahlah.

Aku melirik tiga temanku. Mey, Nana dan Ola tampak meraba kemana pandanganku tertuju. Ola memalingkan wajahnya dari belakang kemudian meluruskannya ke arahku. Ia menyipitkan mata. Aku mengerti Ola telah sampai pada batas pencariannya.
"Eh, kalau aku pakai kayak gitu, gimana?"tanyaku.
"Yang mana, Mel?" sahut Mey.
Aku memandang Mey sebentar. Sejurus kemudian aku melempar senyum dan wajahku ke arah gadis berhijab biru dongker yang baru saja melewati meja kami. Gadis berhijab itu - aku melihat wajahnya begitu teduh dan entah ingin sekali rasanya berkenalan. Wajahnya sederhana tanpa riasan apapun. Tidak seperti mahasiswi kebanyakan yang penuh dengan riasan dari mata, alis, hidung, pipi hingga bibirnya. Ah, bagiku dia memiliki kecantikan yang sebenarnya; sederhana - natural. Dia terlihat manis meski menunduk dan tanpa senyum di bibirnya.
"Kamu? Mau pakai kayak gitu, Mel? Serius?" tanya Mey yang diikuti tawa geli setelahnya.
"Iya, iya... gimana kalau akau pakai busana kayak gitu?"
Mey mencermatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kepalanya ia miringkan ke kanan lalu pandangannya pun ia lempar ke langit-langit. Seolah menerawang sesuatu. Pandangannya lalu ia jatuhkan ke wajahku, sejurus kemudian ia menunduk terkikik-kikik.
"Bhahahaha... bhahahahaaa.... gak cocok, Mel! Demi apa juga gak cocok"
"Kamu loh pencilaan," tambahnya.
"Masa? Gak cocok sama sekali?"
"Eh, Mel. Yang pakai baju gede-gede kayak gitu tuh biasanya anggun, kalem... gak pencilaan kayak kamu!"
"Haissh...." desisku.

Kupalingkan wajahku ke belakang. Aku ingin melihatnya lagi secara seksama. Gadis berhijab lebar itu mengambil jalan serong lalu menyebrang ke arah gedung Rektorat UB. Langkahnya panjang dan tergesa-gesa. Aku melempar senyum simpul ke arah gadis berhijab yang hanya bisa kulihat punggungnya itu.
"Tapi... aku kok kalau lihat mbak-mbak rohis kayak gitu jadi kepengen pakai juga ya? Kayaknya enak, adem gitu," ujarku sambil tersenyum lebar.
"Mmmph..." Mey mencibir.
"Eh, seriuuus"
"Nggak, Mel! Kata siapa adem?" celetuk Nana.
"Kayaknya adem" jawabku sambil tersenyum.
"Nggak, Mel! itu loh panas - gerah"
"Masa sih, Na? Emang kamu udah pernah nyoba?" 
"Iya"
"Iya?" Aku dan Ola spontan menyahut dengan cara yang sama.
"Iya! Aku pernah pakai kayak gitu satu tahun"
"Masa? Iyakah?" aku tidak percaya dengan jawababan Nana.
Bagaimana tidak? Setelan busana Nana yang biasa ia kenakan tidak jauh berbeda denganku. Baju potongan dengan celana jeans ketat dan kerudung ukuran sedang yang menutupi dada. Bagiku itu perubahan yang teramat jauh.

"Satu tahun, Na? Lama banget" tanya Ola.
"Terus kenapa kamu gak pakai lagi?" tanyaku.
"Ya, ada-laaah," jawab Nana singkat.
"Terus lebih enak mana kamu pakai yang kayak gitu atau yang sekarang?"  
"Yang sekaranglah. Kalau gak nyaman ya gak bakalan kupakai Mel,"
Aku mengangguk.
"Emang sih, enak pakai kerudung besar kayak gitu. Gak diganggu cowok. Cuman lebih simple pakai yang kayak begini" jelas Nana.
"Lah, katamu enak. Tapi kenapa kamu tinggalin?" Ola mencecar lagi.
"Ah, udahlaah... pokoknya mendingan pakai yang kayak begini. Simple! Gak gerah," pungkas Nana.
"Hmmm?"Aku dan Ola bertatap-tatapan.
Nana pun kembali sibuk dengan bukunya.

Baik aku atau pun Ola, kami bisa melihat bahwa Nana tidak ingin menjelaskan lebih banyak tentang masa lalunya. Entah apa yang terjadi. Namun sudah menjadi naluri mahluk yang berakal terhadap sesuatu yang semakin ditutupi akan semakin menarik untuk diketahui. Aku melihat Mey biasa saja. Tidak ada tanda tanya sedikitpun di wajahnya. Aku yakin Mey tahu sesuatu yang aku dan Ola ingin mengetahuinya dari Nana. Melihat sikap defensif Nana maka aku dan Ola memilih untuk diam dan menyibukkan diri dengan hal yang lain.

------------------------------------

"Aku ingin mengenakannya," bisik sesuatu di dalam hatiku yang entah itu siapa.

Comments

Popular posts from this blog

“ABRAHAMIC FAITHS”, BAGIAN DARI PROPAGANDA PLURALISME (MELURUSKAN KESALAHPAHAMAN TERHADAP KITAB-KITAB TERDAHULU) 2

Mengapa Harus HTI dan Bagaimana Setelahnya?

GANTUNG DIRI DI DALAM RUMAH; BUKTI GAGALNYA DIDIKAN KELUARGA

“ABRAHAMIC FAITHS”, BAGIAN DARI PROPAGANDA PLURALISME (MELURUSKAN KESALAHPAHAMAN TERHADAP KITAB-KITAB TERDAHULU) 1