Perjalanan Hijrah (Episode II)

DITEROR BAYANGAN HITAM

Percakapan dengan bayangan itu bukan yang pertama aku alami. Entah berapa kali, telah sering aku dibuat malu oleh bayanganku sendiri. Dulu, pertama aku berdilaog dengannya ketika tahun 2013 silam. Saat senja. Sepulang dari kegiatan kelas di kampus. Aku menyusuri persimpangan FPIK (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) dan Fapet (Fakultas Peternakan) yang masih dipenuhi dengan pepohonan rimbun. Pandanganku tertuju pada bayanganku yang seolah memberi corak yang hidup pada jalan yang kususuri. Adakalanya bayangan tubuhku menyatu dengan bayangan ranting dan dedaunan yang bergemulai di atasku.
"Apakah kau melihatku begitu menarik?"
"Ya, kau begitu menarik," gumamku tersenyum bangga
"Siluetmu itu indah, menggambarkan kau begitu mempesona," tambahku.
"Kau rupanya suka memuji diri sendiri,"
"Ah, bukan begitu. Tapi aku sedang mensyukuri nikmat Tuhan untukku"
"Mensyukuri? Yakin?"
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

Langit semakin merah. Siluet tubuh makin jelas tergambar pada bayanganku sendiri. Aku masih dalam perjalanan pulang dengan terkadang memandang pada bayangan.
"Hai, kau begitu mengagumiku?" katanya
"Ya, aku memang begitu cantik dengan siluet ini," sahutnya ketika aku hanya membalas pertanyaannya dengan senyuman
"Tapi keindahan ini begitu murah," tambahnya
"Apa maksudmu?"
"Kau mengobralnya"
"Aku mengobralnya? tidak, aku tidak melakukan itu"
"Ah, masih saja tidak mau mengaku. Bukankah keindahan yang berharga itu harusnya ditutupi?"
Aku mengernyitkan kening. Langkahku mulai pelan.
"Amati aku baik-baik. amati!" serunya padaku.
Lalu aku pun mengamatinya baik-baik. Dari ujung kepala hingga kakinya. Aku amati dan kuamati lagi. Benar saja, tubuh ini benar-benar terlihat indah namun aku telah membuatnya begitu murah. Aku tidak percaya dengan batinku sendiri yang mendadak dipenuhi rasa malu. Aku tidak percaya pada akalku sendiri yang menerjemahkan bahwa aku tidak benar-benar sedang berbusana hari itu.
Aku berkedip pelan. Aku menggeleng pelan. Aku berusaha memulihkan batin dan akalku yang mulai melemahkan fisikku saat itu. 

Aku melihat ada bayangan atap rumah yang panjang menutupi jalan di depanku. Segera aku berlari menujunya tanpa melihat ke arah bayanganku lagi. Aku berfikir aku bisa menyelamatkan diri dari ketakutanku terhadapnya dengan bersembunyi di bayangan yang lain. Sejenak aku merasa tenang telah berada di bawah bayangan atap rumah yang panjang itu. Namun aku kalut kembali ketika berada di ujung bayangan atap itu. Aku kembali takut. Aku takut jika nanti berjumpa bayanganku lagi. Lalu aku melihat bayangan pohon yang besar. Aku pun berfikir untuk menyelamatkan diri dengan mendatangi bayangan pohon itu. Sejurus aku pun berlari menuju bayangan pohon besar itu. Walau bagaimanapun mataku tetap mampu melihat bayanganku yang telanjang itu ikut berlari. Rasanya ia mengejarku dan tak ingin melepaskanku. Ketika aku tak mendapatkan bayangan lain untuk bersembunyi, kerisauan nyata menyelimutiku. Hingga sering aku palingkan muka dari jalan-jalan yang menampakkan bayanganku. Sesaat aku berfikir jika aku telah berbuat hal bodoh. Berlari dari bayangan sendiri? Hei, apakah aku sudah gila? Ah, sekalipun sepenuhnya aku sadar bila aku telah berbuat hal bodah namun itu tak mampu menundukkan rasa risau dan ketakutanku jika melihat bayanganku sendiri. Aku benar-benar diteror bayanganku sendiri hari itu. 

Disinilah awal, aku mulai bertanya tentang diriku sendiri....

Comments

Popular posts from this blog

“ABRAHAMIC FAITHS”, BAGIAN DARI PROPAGANDA PLURALISME (MELURUSKAN KESALAHPAHAMAN TERHADAP KITAB-KITAB TERDAHULU) 2

Mengapa Harus HTI dan Bagaimana Setelahnya?

GANTUNG DIRI DI DALAM RUMAH; BUKTI GAGALNYA DIDIKAN KELUARGA

“ABRAHAMIC FAITHS”, BAGIAN DARI PROPAGANDA PLURALISME (MELURUSKAN KESALAHPAHAMAN TERHADAP KITAB-KITAB TERDAHULU) 1